Saksi Ahli UI Sebut Kabut Asap Kebakaran Areal Konsesi Tergugat di Sumsel Terpantau Citra Satelit

PALEMBANG, iNewspalembang.id - Dua saksi ahli kembali dihadirkan untuk memberikan keterangan terkait ihwal kerusakan lahan gambut yang berujung pada kabut asap di wilayah konsesi PT Bumi Mekar Hijau (BMH), PT Bumi Andalas Permai (BAP) dan PT Sebangun Bumi Andalas (SBA) Wood Industries.
Kesaksian tersebut disampaikan saksi ahli Muhammad Dimyati, Guru Besar di bidang Ilmu Penginderaan Jauh dan Lingkungan dari Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (MIPA) Universitas Indonesia (UI) dan Asmadi Saad, ahli gambut dari Fakultas Pertanian Universitas Jambi, pada sidang lanjutan gugatan kabut asap yang diajukan sebelas warga Sumsel, terhadap tiga perusahaan kayu di bawah kontrol Asia Pulp and Paper (Grup Sinar Mas) tersebut, di Pengadilan Negeri (PN) Palembang, Kamis (8/5/2025).
Menurut saksi Dimyati, bahwa kejadian kabut asap tahun 2015, 2019, dan 2023 dari areal konsesi tergugat di Sumsel terlihat dari citra satelit. Saksi Dimyati juga menunjukkan arah angin yang membawa kabut asap kebakaran gambut akibat aktivitas pengeringan lahan gambut sepanjang tahun 2000-2020.
“Dengan pendekatan spasial, sebaran dan pola kabut asap, atau dampak dari kebakaran gambut dapat dengan mudah dilihat,” ujar dia.
Dengan analisis spasial, ungkap saksi Dimyati, dapat dilihat bahwa luas area terbakar di tiga konsesi korporasi itu mencapai 473 ribu hektare, atau setara 92 persen dari total areal terbakar di KHG SSSL dalam kurun 2001-2020.
Dari angka itu, sebanyak 46 persen di antaranya atau 217 ribu hektare terjadi dalam periode 2015-2020. Kebakaran berulang terjadi setidaknya di area seluas 175 ribu hektare.
"Alih fungsi lahan gambut menjadi kebun hutan tanaman industri (HTI) jelas berdampak mengikis keanekaragaman hayati dan cadangan karbon, yang ujungnya berdampak memperparah krisis iklim," ungkap dia.
Sementara, saksi Asmadi Saad melanjutkan, bahwa kebakaran lahan gambut berulang dapat terjadi atas kelalaian di sisi pemilik lahan yang abai, sehingga tidak segera melakukan pemulihan atas area yang terbakar.
“Janganlah kita menilai gambut dari nilai hasil tanamannya saja, tetapi lihatlah juga kerugian dari hilangnya biodiversitas gambut yang berpotensi memperparah krisis iklim. Jika ada yang tidak bisa menerima bahwa gambut ada kaitannya dengan iklim, maka mereka salah," jelas dia.
Nah, mewakili kepentingan lingkungan hidup yang terdampak, Greenpeace Indonesia, maju sebagai penggugat intervensi dalam perkara ini. Greenpeace Indonesia meminta majelis hakim menghukum ketiga tergugat untuk memulihkan lahan gambut yang rusak di lahan konsesi mereka.
Organisasi ini juga memohon hakim memerintahkan para tergugat untuk menjamin bahwa pengeringan gambut, kebakaran lahan, dan penyebaran kabut asap dari dalam dan sekitar areal izin mereka tak akan terjadi lagi di masa depan.
Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Belgis Habiba menegaskan, bahwa ini adalah momen krusial bagi para penggugat sebelum menghadapi putusan yang akan datang.
“Kita tidak boleh lengah mengawal perkembangan gugatan kabut asap ini, karena kemenangan atas gugatan ini tidak hanya merupakan kemenangan bagi para penggugat dan korban yang terdampak, tetapi juga akan menjadi kemenangan bagi lingkungan hidup,” tegas dia.
Dukungan bagi korban kabut asap juga mengalir dari berbagai lembaga dan ahli yang mengirimkan amicus curiae kepada Majelis Hakim Pengadilan Negeri Palembang, di antaranya Komnas HAM, WALHI, PP Muhammadiyah, Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (ELSAM), Satya Bumi, Indonesian Center of Environmental Law (ICEL), serta Linda Yanti Sulistiawati, dosen hukum lingkungan dari Fakultas Hukum UGM yang pernah menjadi perwakilan Indonesia pada Panel Antarpemerintah untuk Perubahan Iklim (IPCC).
Dalam suratnya, Komnas HAM menyatakan bahwa kegagalan perusahaan dalam melakukan pencegahan, mitigasi, dan remediasi atas dampak negatif dari aktivitas bisnis mereka merupakan bentuk nyata pengabaian terhadap prinsip internasional mengenai tanggung jawab korporasi terhadap hak asasi manusia.
Editor : Sidratul Muntaha