Sidang Gugatan Kabut Asap, Tak Sebut Alasan, Pihak Tergugat Tolak Kesaksian Greenpeace Indonesia

PALEMBANG, iNEWSpalembang.id – Peneliti senior Greenpeace Indonesia (penggugat intervensi) dan 11 warga dari Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) dan Palembang, memberikan kesaksian pada sidang lanjutan perkara gugatan asap, di Pengadilan Negeri (PN) Klas 1A Palembang, Kamis (20/3/2025).
Seperti diketahui bahwa ada belasan warga Sumsel yang mengajukan gugatan asap yang diduga akibat kebakaran hutan dan lahan (karhutla) gambut di konsesi PT Bumi Mekar Hijau (BMH), PT Bumi Andalas Permai (BAP), dan PT Sebangun Bumi Andalas (SBA) Wood Industries, yang merupakan tiga perusahaan kayu di bawah kontrol Asia Pulp and Paper (Grup Sinar Mas).
Sebelum Majelis Hakim masuk ke ruang sidang, para saksi dan para penggugat yang hadir di ruang sidang mengenakan masker bertempelkan stiker ‘Belum Merdeka dari Asap’. Kemudian, mereka membentangkan spanduk besar warna kuning yang juga bertuliskan ‘Belum Merdeka dari Asap’.
Para penggugat dan saksi ini sengaja datang dari Kabupaten OKI dan Kota Palembang untuk mengawal jalannya persidangan kasus gugatan asap ini.
Saat memberikan keterangan, Saksi Mat Arif menyatakan, bahwa kabut asap yang terjadi pada tahun 2023 menghambat pekerjaan mereka. Sebagai pekerjaan konstruksi baja ringan atau pembangunan atap, seharusnya pekerjaan mereka bisa selesai satu minggu jadi molor hingga tiga minggu.
“Hal tersebut membuat saya mengalami kerugian, karena hilangnya waktu bekerja dan tertunda dapat upah,” ujar salah satu saksi fakta dari penggugat itu.
Sementara, Senior Data Strategist dari Greenpeace Indonesia, Sapta Ananda Proklamasi, saksi fakta yang menjadi penggugat intervensi dalam perkara ini mengungkapkan, tentang lokasi konsesi ketiga tergugat yang masuk ke dalam Kesatuan Hidrologis Gambut Sungai Sugihan-Sungai Lumpur (KHG SSSL), temuan kanal-kanal drainase yang mengeringkan gambut hingga lanskap tersebut terbakar berulang kali, dan luas areal terbakar di tiga perusahaan.
Dalam kurun 2001-2020, sambung dia, luas area terbakar di tiga konsesi korporasi itu mencapai 473 ribu hektare, atau setara 92% dari total areal terbakar di KHG SSSL.
“Dari angka itu, sebanyak 46 persen di antaranya atau 217 ribu hektare terjadi dalam periode 2015-2020. Kebakaran berulang terjadi setidaknya di area seluas 175 ribu hectare,” ungkap dia.
Hanya saja, Sapta tak jadi memberi kesaksian, lantaran pihak kuasa hukum tergugat menolak kehadiran Sapta selaku saksi fakta, serta menyatakan akan meninggalkan ruang persidangan.
Menanggapi hal itu, perwakilan kuasa hukum penggugat, Caesar Aditya SH menjelaskan, ada perdebatan tentang apakah saksi fakta dapat menyampaikan kesaksiannya atau tidak.
Memang betul, sambung dia, ada keberatan dari pihak tergugat, tetapi keputusan akhir sebenarnya ada pada majelis hakim. Hakim sebetulnya sudah menawarkan kepada saksi fakta, untuk mengurungkan atau melanjutkan kesaksiannya.
“Hakim masih membuka ruang, tapi diinterupsi oleh kuasa hukum tergugat yang mengatakan akan walk out jika saksi melanjutkan kesaksiannya. Kami menilai tindakan kuasa hukum tergugat itu kurang patut dan kurang profesional, serta terkesan tak menghargai jalannya persidangan,” jelas dia.
Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Belgis Habiba melanjutkan, sebagai penggugat intervensi, pihaknya meminta majelis hakim menghukum ketiga tergugat untuk memulihkan lahan gambut yang rusak di lahan konsesi mereka.
Greenpeace Indonesia juga memohon hakim memerintahkan para tergugat untuk menjamin bahwa pengeringan gambut, kebakaran lahan, dan penyebaran kabut asap dari dalam dan sekitar areal izin mereka tak akan terjadi lagi di masa depan.
“Kami mewakili kepentingan lingkungan hidup yang terdampak. Sebab, alih fungsi lahan dari hutan dan gambut menjadi kebun tanaman komersial tak hanya berdampak pada keanekaragaman hayati dan cadangan karbon, tetapi juga berefek pada makin panasnya Bumi dan menambah parah dampak krisis iklim,” tutur dia.
Perwakilan kuasa hukum penggugat lainnya, Fribertson Parulian Samosir menambahkan, ketiga perusahaan itu harus bertanggung jawab secara mutlak atas terjadinya kabut asap akibat kebakaran di konsesi mereka. Apalagi ketiga tergugat juga mencantumkan aspek memperhatikan lingkungan dalam dokumen visi korporasi.
Dengan kejadian kabut asap karhutla ini, sambung dia, ketiga perusahaan mengingkari visi mereka sendiri. Maka dari itu kami meminta pertanggungjawaban mutlak (strict liability).
“Kami berharap keterangan saksi dapat membantu hakim untuk melihat perkara ini dengan terang ihwal dampak kabut asap bagi penggugat,” tandas dia.
Seperti diketahui, dalam persidangan sebelumnya, pihak penggugat sudah membeberkan kerugian materil dan imateril, yang berangkat dari rasa sakit emosional serta hilangnya hak atas kesehatan dan udara bersih.
Editor : Sidratul Muntaha