JAKARTA, iNewspalembang.id – Korps Pemberantas Tindak Pidana Korupsi (Kortas Tipidkor) Polri mengungkap peran Halim Kalla (HK), adik Wakil Presiden (Wapres) ke-10 dan 12 RI Jusuf Kalla (JK), pada kasus dugaan korupsi pembangunan PLTU 1 Kalimantan Barat (Kalbar) tahun 2008-2018.
Seperti diketahui, penetapan tersangka HK selaku Presiden Direktur PT BRN yang dilakukan pada, Jumat (3/10/2025) usai gelar perkara, juga ada tersangka lainnya yakni FM selaku Direktur Utama (Dirut) PLN periode 2008-2009, RR selaku Dirut PT BRN, dan tersangka inisial HYL selaku Direktur Utama PT Praba.
Menurut Dirtindak Kortas Tipidkor Polri, Brigjen Totok Suharyanto, bahwa mens rea yang dibangun adalah pada pelaksanaan lelang tersebut terdapat fakta tersangka FM selaku dirut PLN telah melakukan pemufakatan untuk memenangkan salah satu calon dengan tersangka HK dan tersangka RR selaku pihak PT BRN.
“Dengan tujuan untuk memenangkan lelang PLTU 1 Kalimantan Barat,” ujar dia kepada awak media, Senin (6/10/2025).
Proses penyelidikan kasus itu, kata Totok, dilakukan sejak 13 November 2024, Di mana terdapat 65 saksi dan 5 ahli diperiksa polisi untuk membuat kasusnya terang benderang.
Kemudian, polisi menerima laporan hasil pemeriksaan investigatif perhitungan keurigaan negara dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), yang mana kerugian negara berupa total loss senilai 62,410,523.20 dolar AS dan Rp323.199.898.518.
“Dari hasil penyelidikan, ditemukan fakta berupa tahun 2008 PT PLN mengadakan lelang ulang untuk pekerjaan pembangunan pembangkit listrik tenaga uap PLTU 1 Kalimantan Barat, dengan kapasitas output sebesar 2x50 MW yang direncanakan akan dibangun di kecamatan Jungkat, Kabupaten Mempawah, Provinsi Kalimantan Barat,” kata dia.
Totok mengungkapkan, selanjutnya dalam pelaksanaan Lelang, diketahui Panitia Pengadaan atas arahan Direktur Utama PLN, tersangka FM telah meloloskan dan memenangkan KSO BRN-Alton-OJSC meskipun tidak memiliki syarat teknis maupun administrasi.
“Selain itu, diduga kuat perusahaan Alton-OJSC tidak tergabung dalam KSO yang dibentuk dan dikepalai oleh PT BRN,” ungkap dia.
Tahun 2009 sebelum dilaksanakan pandatangan kontrak, jelas Totok, KSO BRN telah mengalihkan seluruh pekerjaan kepada PT Praba Indopersada, dengan Dirutnya tersangka HYL dengan kesepakatan pemberian imbalan fee ke PT BRN.
Berikutnya, sambung dia, HYL diberi hak sebagai pemegang keuangan KSO BRN. Dalam hal ini diketahui bahwa PT Praba juga tidak memiliki kapasitas untuk mengerjakan proyek PLTU di Kalimantan Barat.
“Kemudian pada tanggal 11 Juni 2009 dilakukan penandatanganan kontrak oleh tersangka FM selaku Dirut PLN dengan tersangka RR selaku Dirut PT BRN dengan nilai kontrak 80.848.341 dolar AS dan 507.424.168.000 dolar AS sekian atau total kurs saat itu Rp1,254 triliun,” jelad dia.
Totok menerangkan, bahwa tanggal efektif kontrak 28 Desember 2009 dengan masa penyelesaian sampai tanggal 28 Februari 2012. Pada akhir kontrak, KSO BRN maupun PT Praba Indopersada baru menyelesaikan 57 pekerjaan, lalu telah dilakukan beberapa kali amandemen sebanyak 10 kali dan terakhir 31 Desember 2018.
“Fakta sebenarnya, pekerjaan telah terhenti sejak 2016 dengan hasil pekerjaan 85,56 persen. Sehingga, PT KSO BRN telah menerima pembayaran dari PT PLN sebesar Rp323 miliar dan sebesar 62,4 juta dolar AS. Itulah yang terjadi dengan total lost kerugian yang tadi telah disampaikan,” tandas dia.
Editor : Sidratul Muntaha
Artikel Terkait