PALEMBANG, iNewspalembang.id - Mendikbudristek Nadiem Makarim mengeluarkan Peraturan Menteri no 53 tahun 2023 tentang Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi yang telah menuai pro dan kontra di masyarakat luas.
Salah satu yang mengejutkan publik pada permen tersebut adalah yang terkait dengan kewajiban pembuatan skripsi untuk mahasiswa S1 dan D4. Kebijakan baru ini tidak lagi mewajibkan penulisan skripsi sebagai salah satu syarat kelulusan mahasiswa pada jenjang S1 dan D4 di perguruan tinggi.
Dalam peraturan tersebut disebutkan bahwa tugas akhir dapat berbentuk skripsi, prototipe, proyek, atau bentuk tugas akhir lainnya yang sejenis baik secara individu maupun berkelompok.
Wakil Rektor III Universitas Indo Global Mandiri, Prof Erry Yulian T Adesta telah menelaah peraturan menteri yang dikeluarkan oleh Mendikbudristek tersebut.
Menurutnya, dalam Peraturan Menteri No 53 tahun 2023 tersebut khususnya bila merujuk pada Pasal 18 Butir 9 (a) dan (b) secara gamblang disebutkan bahwa Program studi pada program sarjana atau sarjana terapan memastikan ketercapaian kompetensi lulusan melalui: pemberian tugas akhir yang dapat berbentuk skripsi, prototipe, proyek, atau bentuk tugas akhir lainnya yang sejenis baik secara individu maupun berkelompok; atau penerapan kurikulum berbasis proyek atau bentuk pembelajaran lainnya yang sejenis dan asesmen yang dapat menunjukkan ketercapaian kompetensi lulusan.
“Maka jelas di sini bahwa skripsi tidaklah dihapus melainkan di sesuaikan dengan tuntutan zaman,” katanya.
Kemudian, lanjutnya, penerapan kurikulum berbasis proyek atau bentuk pembelajaran lainnya merupakan salahsatu bentuk mata kuliah yang dipergunakan membentuk kompetensi lulusan. “Jadi ditekankan bagaimana mencapai kompetensi lulusan dengan membebaskan prodi untuk memilih instrumen apa yang dipergunakan untuk dapat membentuk kompetensi lulusan,” kata dia.
Menurut Erry, ada dua jenis mata kuliah yang dikenal dalam sistem pembelajaran dalam pendidikan tinggi, yakni kelompok mata kuliah Enabling Courses, merupakan kelompok mata kuliah yang merupakan penciri program studi tertentu.
“Kemudian, Culminating Course yakni mata kuliah puncak (penutup) program studi. Sehingga, bergantung dengan jenis prodi, bisa jadi penulisan skripsi tidak selalu tepat untuk dijadikan mata kuliah penutup. Prodi Desain Komunikasi Visual (DKV) misalnya akan kurang tepat bagi calon sarjananya diharuskan menulis skripsi, mungkin prototipe atau proyek tugas akhir akan lebih relevan. Maka biarkan berjalan sesuai dengan alaminya,” jelasnya.
Erry mengatakan, jika tugas akhir dari sebuah proses perkuliahan adalah skripsi justru dapat membuka peluang bagi mahasiswa tersebut untuk mengambil jalan pintas.
Seperti melakukan plagiarisme (menyalin dari karya orang lain) serta memanfaatkan jasa joki untuk membuatkan skripsi baginya.
“Untuk itu, proses belajar mengajar yang ditutup dengan skripsi kurang tepat. Penulisan skripsi itu tidak dapat dijadikan jaminan bahwa seseorang itu bisa melaksanakan penelitian,” katanya.
Ia menilai jika biarkan masing-masing prodi dibebaskan untuk memilih jenis tugas akhir yang relevan untuk memastikan pencapaian kompetensi lulusan.
“Sebenarnya saya belum melihat secara utuh dari permasalahan permen tersebut. Namun demikian, setiap mahasiswa yang memilih skripsi, tesis atau disertasi sebagai tugas akhir, maka yang bersangkutan harus mampu meyakinkan masyarakat dengan mengujinya di publik, salahsatunya dengan melakukan publikasi ilmiah,” pungkasnya.
Editor : Andhiko Tungga Alam