PALEMBANG, iNewspalembang.id – Pengadilan Negeri (PN) Palembang tidak menerima gugatan belasan warga korban kabut asap di Sumsel, dan gugatan intervensi Greenpeace Indonesia terhadap tiga perusahaan kayu, lewat putusan niet ontvankelijke verklaard (NO).
Putusan NO yang diunggah melalui laman e-Court PN Palembang pada Kamis (3/7/2025) kemarin, mengabaikan hak masyarakat atas lingkungan hidup yang bersih dan sehat, serta mengerdilkan ruang perjuangan warga untuk mencari keadilan.
Sudah tentu belasan korban kabut asap dan gugatan intervensi Greenpeace Indonesia terhadap PT Bumi Mekar Hijau (BMH), PT Bumi Andalas Permai (BAP), dan PT Sebangun Bumi Andalas (SBA) Wood Industries ini, menjadi pukulan menyakitkan bagi perjuangan melawan kejahatan ekologis di Sumsel.
PT BMH, PT BAP, dan PT SBA Wood Industries ini tercatat dalam daftar APP Business Group di dokumen proses pengajuan aplikasi perusahaan untuk masuk kembali ke standar sertifikasi Forest Stewardship Council (FSC).
Menurut Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Belgis Habiba, gugatan yang diajukan para korban adalah ekspresi sah warga negara yang dijamin konstitusi dan undang-undang, untuk menuntut pertanggungjawaban atas penderitaan yang mereka alami akibat kebakaran hutan dan lahan (karhutla).
“Para penggugat adalah masyarakat yang jelas-jelas terdampak kabut asap akibat kebakaran lahan gambut dari konsesi para tergugat. Mereka telah menanggung kerugian materil dan imateril, dan kini harus menerima kabar buruk yang menyesakkan ini,” ujar dia, Jumat (4/7/2025).
Greenpeace Indonesia sebagai penggugat intervensi, kata dia, juga berhak menuntut pemulihan lingkungan hidup yang rusak akibat aktivitas pengeringan gambut oleh para tergugat.
“Pengadilan seperti mengabaikan keterangan para saksi dan ahli, serta fakta bahwa bahaya kebakaran lahan gambut dan kabut asap masih mengintai Sumatera Selatan,” kata dia.
Habiba mengungkapkan, bahwa putusan ini dijatuhkan di tengah meningkatnya risiko karhutla, di mana Pemprov Sumsel baru saja menetapkan status Siaga Darurat Asap.
“Dengan tidak menerima gugatan ini, Majelis Hakim justru melemahkan komitmen negara dalam melakukan mitigasi dan menanggulangi krisis asap yang berulang tiap tahun,” ungkap dia.
Sementara, mewakili tim kuasa hukum penggugat, Ipan Widodo menjelaskan, pihaknya akan mempelajari putusan resmi, yang hingga hari ini belum diterbitkan, dan mempertimbangkan upaya hukum banding.
Pihaknya percaya, sambung Ipan, bahwa ada hak masyarakat Sumatera Selatan atas udara yang bersih dan sehat yang harus terus diperjuangkan.
“Jika Majelis Hakim malah membiarkan perusahaan perkebunan penghasil kabut asap untuk lepas dari tanggung jawab atas kabut asap yang mereka hasilkan, maka dampak buruk kabut asap akan terus menghantui warga Sumatera Selatan,” tegas dia.
Buntut dari kekecewaan tersebut, korban kabut asap dan elemen masyarakat Sumsel mengekspresikan lewat menggelar aksi tabur bunga di depan PN Palembang.
Pesan-pesan yang bertuliskan ‘Keadilan Untuk Korban Kabut Asap’, ‘Turut Berdukacita Atas Padamnya Keadilan di PN Palembang’, dan ‘PN Palembang Bikin Makin Sesak’ juga turut memenuhi beranda gedung PN Palembang. Dengan berpakaian serba hitam, para peserta aksi mengisyaratkan gugurnya keadilan bagi korban kabut asap.
“Di tengah penetapan status siaga darurat asap oleh Pemerintah Provinsi Sumatera Selatan, putusan ini justru seakan menyanggah komitmen aparat penegak hukum dan pemerintah dalam memerangi karhutla dan kabut asap. Tentunya putusan hakim sangat mengecewakan, tapi ini tidak akan menurunkan semangat kami untuk terus berjuang sampai menang,” timpal salah satu dari sebelas penggugat, Muhkamat Arif.
Seperti diketahui, bila merujuk Surat Edaran Mahkamah Agung No 1 tahun 2017, seharusnya putusan Majelis Hakim mencerminkan prinsip penting dalam sistem peradilan: bahwa keadilan substantif, yang berkaitan dengan esensi dan tujuan hukum untuk mewujudkan keadilan sejati bagi masyarakat, harus lebih diutamakan dibanding keadilan formal, yang hanya melihat aturan prosedural atau teknis dalam hukum acara.
Terhadap Putusan NO ini, Inisiasi Sumatera Selatan Penggugat Asap (ISSPA) menilai, hal ini mengindikasikan krisis keberpihakan yudisial terhadap hak atas lingkungan hidup di tengah darurat iklim.
Atas dasar itu, maka ISSPA mendesak Badan Pengawas Mahkamah Agung (MA) dan Komisi Yudisial (KY) untuk mengevaluasi penanganan gugatan ini dan meningkatkan perhatian terhadap putusan-putusan serupa yang berpotensi memperburuk krisis ekologis nasional.
Editor : Sidratul Muntaha
Artikel Terkait