PALEMBANG, iNewspalembang.id – Koalisi Masyarakat Sipil Anti Asap Sumatera Selatan (KMSAASS) menyebut ada perbedaan data dengan Pemprov Sumsel terkait kebakaran hutan dan lahan (karhutla) sepanjang tahun 2023 ini.
Pada sesi talkshow ‘B5. Role of ACCTHPC: towards FOLU Net Sink 2030 and Haze Free ASEAN by 2030’ bagian dari the 28th Conference of the Parties to the United Nations Framework Convention on Climate Change di Uni Emirat Arab, pada 10 Desember 2023 lalu, Penjabat (Pj) Gubernur Sumsel, Agus Fatoni menyampaikan, perkembangan kondisi terbaru, yakni terjadi penurunan hotspot atau titik panas.
ACCTHPC (Coordinating Centre for Transboundary Haze Pollution Control) atau Pusat Koordinasi Pengendalian Pencemaran Asap Lintas Batas, merupakan instrumen kerja sama antara negara-negara ASEAN dalam mengatasi dampak asap dari kebakaran hutan dan lahan atau karhutla.
Nah Agus Fatoni menyampaikan, bahwa pada tahun 2015, jumlah hotspot tercatat sebanyak 27.043 titik, kemudian menurun menjadi 23.818 titik di tahun 2019, dan berkurang lagi menjadi 19.849 titik di tahun 2023 ini.
“Kondisi ini dapat menjadi indikasi adanya keberhasilan upaya pencegahan kebakaran hutan dan lahan yang efektif yang dilakukan Provinsi Sumatera Selatan,” kata dia.
Tren penurunan titik panas ini, ungkap Fatoni, juga ekuivalen dengan luas area yang terbakar. Pada tahun terjadinya El nino di tahun 2015, areal yang terbakar mencapai luasan 638.582 ha. Kemudian mengalami penurunan pada 2019 menjadi 317.885 ha dan kembali berkurang signifikan menjadi 109.460 ha pada 2023.
Apa yang disampaikan Pj Gubernur Sumsel tersebut berbeda Dengan yang dipaparkan Koalisi Masyarakat Sipil Anti Asap Sumsel, bahwa sebaran hotspot di wilayah Sumsel sepanjang tahun 2023 ini mencapai 6.231 titik dan lahan yang terbakar mencapai332.283 Hektare (Ha).
Terpisah, perwakilan dari Hutan Kita Institute (HaKI), Adios Syafri mengatakan, ribuan hotspot tersebut paling banyak berada di Kabupaten Ogan Komering Ilir (OKI) dan Kabupaten Ogan Ilir (OI). Hotspot itu diketahui 53 persen berada di lahan gambut, sedangkan 43 persen hotspot berada di lahan non gambut.
“Dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, hotspot di tahun 2023 ini lebih sedikit. Namun, untuk lahan yang terbakar malah lebih luas atau mencapai 332.283 hektare," kata dia.
Adios menjelaskan, memang data dari KMSAASS ini berbeda dengan data yang dikeluarga Pj Gubernur Sumsel Agus Fatoni saat paparan di Dubai, Uni Emirat Arab.
''Saat paparan, Pj Gubernur Sumsel mengaku lahan terbakar sekitar 109 ribu hektare. sedangkan data KMSAASS sendiri lahan terbakar lebih dari 300 ribu hektare," jelas dia.
Kemudian, ada lahan yang terbakar berulang-ulang dari 2015-2023 dan dari 2019-2023. Lahan terbakar berulang pada tahun 2015-2023 seluas 144.964 Ha.
“sedangkan lahan terbakar berulang tahun 2019-2023 seluas 82 ribu hektare lebih," jelas dia Adios.
Sementara, Direktur Eksekutif WALHI Sumsel, Yuliusman mengatakan, terlepas dari adanya perbedaan data antara Pemprov Sumsel dengan Koalisi Masyarakat Sipil Anti Asap Sumsel, faktnya Sumsel hingga saat ini masih terbakar.
“Pertanyaannya mengapa (karhutla) itu terjadi berulang. Artinya, selama tidak ada upaya mitigasi atau komitmen yang kuat, maka ya akan tetap berulang,” kata dia.
Paling tidak, sambung Yuliusman, pemerintah harus sadar menjaga karhutla itu sulit untuk tuntaskan. Makanya, karhutla itu harus masuk ke kejahatan lingkungan yang luar biasa.
''Karena karhutla itu selalu terjadi setiap tahunnya termasuk di Provinsi Sumsel ini. Anehnya kasus karhutla ini sangat sulit untuk dituntaskan," tegas Yuliusman.
Kembali Adios menerangkan, untuk menanggulangi permasalahan karhutla ini, Koalisi Masyarakat Sipil Anti Asap Sumsel 2023 menyampaikan solusi dan tanggung jawab yang diharapkan bisa mengatasi karhutla secara komprehensif.
Pertama, kebijakan politik ekologi, bahwa karhutla sebagai kejahatan lingkungan luar biasa. Jadi ppemerintah pusat diharapkan mengambil langkah tegas dengan menyatakan karhutla sebagai kejahatan lingkungan luar biasa.
“Kebijakan ini harus bersifat nasional dan memiliki dampak psikologis kuat, menekankan bahwa karhutla bukanlah perbuatan sepele. Tanggung jawab utama ada pada pemerintah pusat,” kata dia.
Berikutnya, pemberian sanksi hukum harus lebih tegas dan berkeadilan, mencakup penyegelan perusahaan hingga tindakan pidana dan denda. Penerima sanksi harus dipublikasikan sebagai pelaku kejahatan lingkungan luar biasa. Tanggung jawab utama ada pada Kementerian LHK, Kejaksaan, dan Pengadilan.
“Lalu, pemerintah provinsi dan kabupaten perlu fokus pada pencegahan karhutla saat musim hujan. Melibatkan pihak korporasi sejak awal dengan langkah-langkah strategis. Perubahan mindset diperlukan, menjadikan penanganan karhutla bukan sekadar pemadam kebakaran,” imbuh dia.
Selain itu, papar Adios, setiap perusahaan harus menandatangani kontrak politik menjamin tidak adanya karhutla di wilayahnya. Kontrak ini disertai sanksi pencabutan izin, sanksi pidana, dan sanksi denda. Tanggung jawab utama pada korporasi, kepala daerah, dan Kementerian LHK.
“Setiap pemerintah daerah (kabupaten) harus menjadikan karhutla sebagai fokus kebijakan. Program kerja SKPD harus merancang solusi untuk menjadikan daerah rawan karhutla produktif dan hijau di musim kemarau. Tanggung jawab kepala daerah ada pada wilayah ini,” papar dia, seraya menambahkan, kepala daerah yang wilayahnya rawan karhutla wajib menandatangani kontrak politik.
Editor : Sidratul Muntaha
Artikel Terkait