PALEMBANG, iNewspalembang.id - Sebanyak 12 warga Sumatera Selatan (Sumsel) mendatangi Pengadilan Negeri (PN) Palembang untuk mendaftarkan gugatan ke tiga perusahaan atas kasus kabut asap yang terjadi menahun, Kamis (29/8/2024).
Para penggugat itu adalah warga Desa Bangsal, Kecamatan Pampangan, Ogan Komering Ilir (OKI); Desa Lebung Itam, Kecamatan Tulung Selapan, OKI; dan Kota Palembang.
Latar belakang warga inipun beragam, mulai dari petani, penyadap karet, nelayan, peternak kerbau rawa, ibu rumah tangga, pekerja lepas, hingga pegiat lingkungan.
Sedangkan tiga perusahaan yang menjadi tergugat tersebut yakni, PT Bumi Mekar Hijau (BMH), PT Bumi Andalas Permai (BAP), dan PT Sebangun Bumi Andalas Wood Industries (SBA Wood Industries).
Warga yang mendaftarkan gugatan ke PN Palembang ini tidak sendirian, namun didukung gabungan koalisi masyarakat sipil dan organisasi lingkungan bernama Inisiasi Sumatera Selatan Penggugat Asap (ISSPA). Warga tersebut menuntut ganti rugi atas tercerabutnya hak atas lingkungan hidup yang baik dan sehat, dan pemulihan lingkungan atas terjadinya kabut asap dari kebakaran hutan dan lahan (karhutla), yang merugikan warga tersebut baik secara materiil maupun immateriil.
Warga penggugat dari Desa Lebung Itam, Pralensa menyatakan, sudah bertahun-tahun menjadi korban kabut asap akibat karhutla, dan tahun lalu rumah walet miliknya ikut terbakar. Mereka datang hari ini untuk menggugat tiga perusahaan yang dianggap membawa dampak kabut asap yang mereka rasakan hampir setiap kemarau.
"Lewat gugatan ini, kami ingin memberi peringatan bahwa apa yang perusahaan lakukan itu salah karena telah merusak lingkungan dan ruang kehidupan kami, serta menimbulkan kabut asap,” ujar dia, Kamis (29/8/2024).
Penggugat lainnya, Marda Ellius mengatakan, apa yang sudah dilakukan para tergugat jelas mengakibatkan asap yang berdampak buruk bagi kesehatan ekosistem dan manusia, baik fisik maupun mental. Lalu, beberapa dampak dan kerugian dirasakan para penggugat, salah satunya dada sesak dan pernapasan terganggu karena infeksi saluran pernapasan akut (ISPA).
Marda melanjutkan, pekerjaan yang biasa dimulai pagi hari seperti menggarap sawah, menyadap karet, mencari ikan, atau bertukang, menjadi sangat terganggu. Mereka juga merugi, karena biaya menanam karet dan memelihara ternak meningkat, sedangkan produktivitasnya berkurang. Kegiatan seperti kuliah, ibadah, dan kehidupan sosial lainnya terganggu hingga acap kali memicu rasa cemas dan tertekan.
“Saat terjadi kabut asap, saya tertekan karena khawatir dengan kesehatan anak dan diri sendiri. Cuaca panas karena kabut asap membuat suhu tubuh kami meningkat, badan gatal-gatal, juga batuk-batuk. Ekonomi keluarga terganggu, karena asap menghalangi kami untuk menyadap karet atau menangkap ikan. Saya memutuskan menjadi salah satu penggugat dengan harapan perusahaan dan pemerintah lebih memikirkan lingkungan hidup,” kata dia.
Sementara, perwakilan LBH Palembang, Ipan Widodo, selaku kuasa hukum, penggugat, sekaligus Ketua Persatuan Advokat Dampak Krisis Ekologi (PADEK), yang mengawal kasus ini mengungkapkan, selama ini masyarakat Sumsel sudah lama diam menghadapi dampak buruk asap hasil kebakaran hutan dan lahan gambut.
"Ini pertama kalinya masyarakat menuntut pertanggungjawaban mutlak atau strict liability dari badan hukum atas kerugian akibat pencemaran atau perusakan lingkungan yang diperbuat badan hukum tersebut. Perjuangan ini akan jadi babak baru dalam perkembangan hukum lingkungan di Indonesia dan gaya baru perjuangan rakyat melawan krisis iklim," ungkap dia.
Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, Belgis Habiba menjelaskan, karhutla yang terjadi di wilayah izin para tergugat telah berkontribusi signifikan memicu kabut asap di Palembang pada 2015, 2019, dan 2023. Luas areal terbakar dalam konsesi para tergugat pada 2015-2020 seluas 254.787 hektare atau setara hampir empat kali luas DKI Jakarta. Ketiga perusahaan ini juga pernah di sanksi hingga denda akibat karhutla berulang. Namun hingga tahun lalu, konsesi ketiganya ternyata masih terus terbakar.
“Konsesi PT BMH, PT BAP, dan PT SBA Wood Industries berada pada lanskap gambut, yang sebenarnya punya
peran penting menyimpan karbon. Rusaknya gambut di lanskap itu, yang lantas memicu karhutla dan kabut asap terus-menerus, tentu sangat memperburuk krisis iklim. Peningkatan emisi karbon akibat karhutla dan kabut asap juga berkontribusi menghambat upaya penurunan emisi, bahkan membuat gagalnya pencapaian target iklim oleh pemerintah Indonesia,” jelas dia.
Koordinator KPA Wilayah Sumsel, Untung Saputra, yang juga sekaligus perwakilan koalisi ISPA menambahkan, selain memicu konflik agraria berkepanjangan, ternyata ketiga perusahaan tersebut juga menimbulkan dampak ekologis yang begitu merusak dan mengganggu kehidupan masyarakat Sumsel.
"Ini saatnya masyarakat melawan dengan terhormat untuk menunjukkan bahwa mereka punya kedaulatan atas ruang hidupnya,” tandas dia.
Editor : Sidratul Muntaha
Artikel Terkait