JAKARTA, iNewspalembang.id – Direktur Jenderal (Dirjen) Pajak Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Bimo Wijayanto, merespons fatwa yang baru dikeluarkan Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Seperti diketahui, bahwa MUI mengeluarkan lima fatwa pada Musyawarah Nasional (Munas) XI MUI, tentang Rumah yang dihuni tidak layak dikenakan pajak berulang atau Pajak Bumi dan Bangunan Pedesaan dan Perkotaan (PBB-P2).
Berikutnya, kedudukan rekening dormant dan perlakuan terhadapnya; pedoman pengelolaan sampah di sungai, danau, dan laut untuk kemaslahatan; status saldo kartu uang elektronik yang hilang atau rusak; dan kedudukan manfaat produk asuransi kematian pada asuransi jiwa syariah.
Menanggapi fatwa tersebut, Bimo Wijayanto menyampaikan, pihaknya siap untuk berdiskusi dengan MUI. Meski begitu, pihaknya akan bersikap tabayyun atau mencari kejelasan sehingga tidak ada simpang siur terkait masalah tersebut.
"Kita juga sudah diskusi dengan MUI sebelumnya. Jadi nanti coba kita tabayyun dengan MUI. Karena sebenarnya yang ditanyakan itu PBB-P2 perdesaan perkotaan dan pemukiman itu di daerah," ucap Bimo usai Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi XI DPR, Senin (24/11/2025).
Berdasarkan undang-undang, kata Bimo, kewenangan penetapan kebijakan, tarif, dan dasar pengenaan PBB-P2 sudah menjadi tanggung jawab daerah. pihaknya juga mengklarifikasi, bahwa PBB yang masih berada di bawah kewenangan DJP hanya PBB yang terkait dengan sektor spesifik, bukan pemukiman atau perdesaan/perkotaan.
“Kami hanya PBB yang terkait dengan Kelautan, Perikanan, Pertambangan, sama Kehutanan," kata dia.
Bimo mengungkapkan, terkait dengan PPN, bahwa barang kebutuhan pokok masyarakat memang tidak dikenakan PPN atau dikenakan tarif 0 persen, sesuai dengan kebijakan saat ini.
Sementara, Ketua Komisi Fatwa SC Munas XI MUI, Prof KH Asrorun Ni'am Sholeh menjelaskan, inti fatwa bahwa bumi dan bangunan yang dihuni tidak layak dikenakan pajak berulang.
MUI menegaskan, pemungutan pajak seharusnya hanya dikenakan kepada harta yang potensial untuk diproduktifkan dan merupakan kebutuhan sekunder dan tersier (hajiyat dan tahsiniyat).
“Pungutan pajak terhadap sesuatu yang jadi kebutuhan pokok, seperti sembako, dan rumah serta bumi yang kita huni, itu tidak mencerminkan keadilan serta tujuan pajak,” tandas dia.
Editor : Sidratul Muntaha
Artikel Terkait
