PAGARALAM, iNEWSpalembang.id – Pemilik Hotel Orchid Resort, Imam Hadi Prasetyo, didampingi tim kuasa hukumnya mengajukan praperadilan ke Pengadilan Negeri (PN) Pagar Alam.
Berkas permohonan ke PN Pagaralam itu diserahkan oleh Kuasa hukum pemohon Imam Hadi Prasetyo, yakni Aan Isbrianto dan diterima Panitera PN Pagaralam, Sukadi SH MH. Pengajuan praperadilan tersebut terdaftar sesuai Akta Permohonan Nomor: 1/Akta.Pra.Pid/2025/PN Pga, pada 7 Januari 2025.
Seperti diketahui, bahwa pihak Polres Pagaralam menetapkan Imam Hadi Prasetyo sebagai tersangka pada 17 Desember 2024, setelah melakukan penyidikan terhadap kasus tewasnya seorang anak berusia lima tahun di kolam renang Orchid Dempo Resort pada 14 Juli 2024 lalu.
Kapolres Pagar Alam, AKBP Erwin Aras Genda SIk, melalui Kasatreskrim Iptu Chandra Kirana SH MH beberapa waktu lalu menyatakan bahwa memang Imam hadi Prasetyo sudah ditetapkan sebagai tersangka.
“Telah kami tetapkan sebagai tersangka (Imam Hadi Prasetyo) atas dugaan pelanggaran tata ruang dan kelalaian pengelolaan keselamatan pengunjung,” ujar Iptu Chandra Kirana, beberapa waktu lalu.
Nah terkait penetapan tersangka itulah, Kuasa Hukum Imam Hadi Prasetyo, sebagai pihak pemohon, mengajukan keberatan atas penetapan status hukum yang dianggap sebagai bentuk kriminalisasi dari usaha klien mereka.
Menurut Kuasa Hukum Imam Hadi Prasetyo, Adv Assoc Prof Dr Derry Angling Kesuma, SH, MHum, CMSP, bahwa praperadilan yang diajukan mereka ke PN Pagaralam tersebut, karena ada indikasi kuat bahwa perkara ini direkayasa untuk mengkriminalisasi klien mereka dan bisnisnya Orchid Dempo Resort.
“Ada oknum yang bermain dalam proses ini,” kata dia, Selasa (4/2/2025) kemarin.
Prof Dr Derry mengungkapkan, dalam sidang dengan agenda mendengarkan keterangan ahli atas nama Dr H Yuli Asmara Triputra SH MH, Senin (3/2/2025) kemarin, dalam keterangannya menyampaikan bahwa pertama terhadap Undang-Undang (UU) Tata Ruang dan UU Cipta Kerja, dikategorikan administratif penal law yang artinya UU administrative.
“Dimana ketika ada pelanggaran tata ruang, semisal belum ada izin pendirian usaha, maka harus di kedepankan sanksi administratif, sesuai bunyi pasal 62 dan 63 dan harus mengedepankan Asas Ultimum Remedium, yang bermakna sanksi pidana harus diberikan setelah penerapan sanksi administratif tidak di patuhi oleh orang tersebut,” ungkap dia.
Berikutnya, jelas dia, sesuai dengan bunyi UU tata Ruang dan cipta kerja, yang berhak untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan adalah penyidik PPNS. UU Tata Ruang dan Cipta Kerja sudah memiliki turunannya berupa perda, dan penegakan perda adalah PPNS yaitu POL PP.
“Penentapan tersangka No.90/XII/2024/Satreskrim tertanggal 17 Desember 2024 karena cacat formil karena hanya mencantumkan UU Tata Ruang dan UU Cipta Kerja tidak mencantumkan Perda Kota Pagaralam,” jelas dia.
Kemudian, terang dia, bahwa merujuk pasal 76 UU Tata Ruang jo UU CIPTA KERJA Pasal 17, maka Perda Kota Pagaralam No 07 tahun 2012 tentang Penataan Ruang Kota Pagaralam Tahun 2012-2023 sudah tidak berlaku lagi. Sehingga bermakna bahwa di Kota Pagaralam untuk saat ini belum ada aturan yang menjadi landasan penetapan tata ruang di Kota Pagaralam.
Jadi, sambung dia, untuk menyatakan seseorang diduga pelaku sebuh tindak pidana, harus ada perbuatan yang menurut undang-undang terkategori tindak pidana.
“Kalau sebuah aturan sudah tidak berlaku lagi, maka tidak bisa dijadikan landasan penetapan seseorang telah melakukan perbuatan yang terkategori tindak pidana,” terang dia.
Prof Dr Derry berkeyakinan, bila merujuk dari keterangan ahli tersebut, maka hakim akan jeli melihat penetapan tersangka yang di tetapkan oleh Termohon adalah cacat formil.
“Sehingga beralasan hukum apabila yang mulia Hakim Tunggal dalam perkara Aquo menjatuhkan putusan yang amarnya berbunyi memerintahkan termohon untuk menghentikan penyidikan dan menerbitkan surat perintah penghentian penyidikan,” tandas dia.
Editor : Sidratul Muntaha