JAKARTA, iNews.id - Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) mengajak penegak hukum menjadikan peringatan Hari Antikorupsi Internasional, sebagai momentum mengawal akuntablitas pemberian status justice collaborator (JC/saksi pelaku yang bekerjasama).
Wakil Ketua LPSK Edwin Partogi Pasaribu mengatakan pemanfaatan JC dalam upaya memerangi korupsi, menjadi salah satu strategi yang disepakati PBB pada 2003, dengan menerbitkan United Nations Convention Against Corruption (UNCAC).
Konvensi itu kemudian diratifikasi Indonesia menjadi UU Nomor 7 Tahun 2006. Pada tahun yang sama, terbit UU Nomor 13 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, dalam UU itu dibuka ruang keringanan pidana bagi pelaku yang bekerjasama.
Ketentuan Pasal 10 UU Nomor 13 Tahun 2006 kemudian melahirkan SEMA Nomor 4 Tahun 2011 dan Peraturan Bersama Menkumham, Jaksa Agung, Kapolri, KPK dan LPSK pada 2011 tentang Perlindungan bagi Pelapor, Saksi Pelapor dan Saksi Pelaku yang Bekerjasama.
“Ketentuan soal JC ini memberi stimulus terbitnya PP Nomor 99 Tahun 2012 yang memberi syarat tambahan bagi terpidana korupsi, terorisme dan narkotika, untuk mendapatkan hak-hak narapidana dengan mensyaratkan sebagai JC,” kata Edwin di Jakarta, Rabu (8/12/2021).
Namun dalam putusannya belum lama ini, Mahkamah Agung membatalkan pasal dalam PP Nomor 99 Tahun 2012 yang mensyaratkan narapidana harus mendapatkan status JC untuk memperoleh hak-haknya.
Edwin menjelaskan, UU Nomor 13 Tahun 2006 pada perjalanan berubah menjadi UU Nomor 31 Tahun 2014, yang memperjelas syarat penanganan khusus dan penghargaaan kepada Justice Collaborator.
“Secara normatif yuridis, hanya UU Nomor 31 Tahun 2014 yang mengatur secara jelas tentang Justice Collaborator,” kata dia.
Karena itu pemberian status JC sudah seharusnya merujuk kepada UU Nomor 31 Tahun 2014. Ketidakpatuhan aparat penegak hukum dalam prosedur penetapan JC merupakan hal serius. Sebab, penyelenggara negara menjalankan tugas, fungsi dan kewenangan semata-mata harus berdasarkan peraturan perundangan-undangan.
“Ketidakpatuhan terhadap UU ini dapat membuat legitimasi keputusan yang diambil menimbulkan pertanyaan yang tidak perlu, bahkan menimbulkan kecurigaan atas motifnya,” kata Edwin lagi.
Berdasarkan informasi yang berhasil dihimpun LPSK, saat ini terdapat 209 narapidana korupsi yang mendapat status JC dari penegak hukum, yaitu 22 dari KPK, 14 dari Polri, dan 173 dari Kejaksaan.
Informasi lain yang tak kalah menarik, penegak hukum juga telah mengeluarkan 27.124 status JC bagi mereka yang berstatus narapidana terkait tindak pidana narkotika. Dengan rincian, BNN sebanyak 74 narapidana, Polri sebanyak 9.245 narapidana dan Kejaksaan 17.804 narapidana.
Selain itu dalam kurun 2015-2020, LPSK hanya menerima 28 permohonan JC. Angka tersebut sangat jauh dari total penerbitan status JC oleh penegak hukum terkait tindak pidana korupsi dan narkotika, yang merupakan bagian dari tindak pidana prioritas LPSK.
Data JC ini menimbulkan pertanyaan yang patut menjadi perhatian aparat penegak hukum, siapa mereka yang diberikan status JC itu? kapan status itu diberikan? apa kontribusi para JC tersebut dalam mengungkap tindak pidana?.
Karena LPSK menilai, jika pemberian JC dilakukan tidak sesuai ketentuan, tidak hanya berpotensi membahayakan proses penegakan hukum, tetapi juga berpotensi membuka celah baru terjadinya korupsi.
“Ketimpangan ini menjadi informasi penting bagi publik dalam kaitannya untuk mengetahui fenomena pemberian status JC, khususnya terkait kepatuhan penegak hukum dalam memberikan status JC sesuai ketentuan hukum yang berlaku,” Edwin menjelaskan.
Menurut Edwin, poni terpenting bagaimana mengawal akuntabilitas pemberian status JC sesuai dengan semangat pemberantasan korupsi. Karena itulah momen peringatan Hari Antikorupsi Internasional, LPSK mengajak aparat penegak hukum melaksanakan pemberian status JC sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku.
“Harapannya, agar semangat dan tujuan pemberian status JC bisa terlaksana dengan baik. Utamanya dalam mendukung pengungkapan pelaku korupsi sampai ke akar-akarnya,” ia memungkasi.
Editor : Agustian Pratama