PALEMBANG, iNewspalembang.id – Tokoh agama dan ulama punya peran penting menjadi penyejuk pada penyelenggaraan Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 mendatang.
Kapolda Sumsel, Irjen Pol A Rachmad Wibowo, melalui Direktur Intelkam Kombes Pol Iskandar F Sutisna dan didampingi Wadir Intelkam AKBP Dwi Mulyanto menyampaikan, selama ini peran tokoh agama dan ulama di Sumsel pada pemilu sudah sangat baik dan mampu menjaga umat.
“Saya ingatkan, bahwa Sumsel dan Palembang pada khususnya zero conflict bukan hanya isapan jempol. Karena para tokoh agama dan ulama di Sumsel menjadi penyejuk di pesta demokrasi tersebut,” ujar dia, pada acara Focus Group Discussion (FGD) dengan tema ‘Peran Tokoh Agama untuk Mensukseskan Pemilu 2024 di Provinsi Sumsel’ di Hotel Peninsula, Palembang, Kamis (23/6/2023).
Tokoh agama dan ulama ini, ungkap Dwi, pada Pemilu 2024 mendatang harus menjadi colling down system, yang mampu mendinginkan suasana panas dan suasana dingin tetap selalu terjaga.
“Selain itu, jangan mudah terjebak dan terhasut oleh konten-konten yang ada di media sosial. Para tokoh agama ini adalah agen-agen dari control individu dan kontrol sosial terhadap semuanya,” ungkap dia.
Sekretaris Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sumsel, KH Ayik Farid Alayidrus menjelaskan, bicara soal politik identitas pada pemilu, sebenarnya ini tidak akan pernah hilang dan selalu ada.
Karena peserta pemilu yang tak lain partai politik (parpol) sudah melekat identitas politiknya. Seperti Partai Ummat, PKB, PPP dan lainnya yang identitasnya agama Islam. Kemudian, PDI Perjuangan yang identitasnya nasionalis dan sebagainya.
“Nah disinilah peran tokoh agama dan ulama, untuk tetap menjaga agar tidak sampai terjadi perpecahan. Ukhuwah ini suatu keniscayaan dan harus dilaksanakan. Sadar atau tidak sadar, ada sedikit perbedaan pandangan dalam umat Islam,” jelas dia.
Ayik menerangkan, bahwa seorang dai tugasnya sama seperti juru kampanye partai, yang tugasnya mendorong orang lain untuk ikut mengamalkan ajaran Islam.
“Nah tugas para dai di tahun politik ini menjaga Ukhuwah, bekerja sama dengan Dewan Kemakmuran Masjid (DKM), yang tentunya harus ada etika,” terang dia.
Sementara, Komisioner Bawaslu Sumsel, Kurniawan menuturkan, politik identitas ini merebak dan booming saat Pilkada DKI Jakarta pada 2017 lalu. Pada musim-musim pemilu, politik identitas ini bisa menjadi komoditi politik untuk meraih keuntungan politik.
“Bahkan tanpa mengeluarkan uang. Hanya memberi pengaruh pada masyarakat dengan melegitimasi identitas tertentu dan mengunggulkan identitas lain,” tutur dia.
Politik identitas ini sendiri, sambung Kurniawan, memang masih menjadi momok bagi Bawaslu. Meski demikian, pihaknya sudah menyiapkan strategi khususnya pada pencegahan kampanye di media sosial.
Anggota KPU Sumsel Divisi Sosialisasi Pendidikan Pemilih, Hendri Atma Wijaya melanjutkan, sebagai penyelenggara pemilu, KPU bekerja sesuai dengan regulasi dan aturan perundang-undangan yang ada.
“Namun, saat ini banyak sekali dinamika di kalangan masyarakat bawah. Kondisi pemilu hari ini, ya harus mengantisipasi semua informasi di media sosial yang menyudutkan salah satu kelompok,” kata dia.
Terkait politik identitas, tambah Hendri, KPU lebih memberikan pemahaman-pemahaman kepada masyarakat sesuai aturan yang ada.
“Salah satunyaa dengan meningkatkan literasi digital. Karena, kalau tidak mampu menyaring informasi yang benar dan langsung share informasi yang ad aitu, maka informasi yang dianggap benar itu justru menjadi masalah bagi masyarakat sendiri,” tandas dia.
Editor : Sidratul Muntaha