JAKARTA, iNewsPalembang.id - Lintas Rel Terpadu (LRT) Sumatera Selatan (Sumsel) yang dibangun pada tahun 2016 dan 2017 diduga terlibat dalam tindak pidana korupsi yang merugikan negara hingga Rp1,2 triliun. Proyek nasional ini ditemukan memiliki 28 indikasi tindak pidana korupsi yang melibatkan berbagai pihak.
Ketua LSM Kompi, Ergat Bustomy Ali, menjelaskan bahwa selama proses pembangunan LRT di Sumsel, terdapat 28 temuan dugaan korupsi yang melibatkan banyak pihak. Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Dirjen Perkeretaapian Kementerian Perhubungan (Kemenhub) diduga dengan sengaja tidak menetapkan harga perkiraan sendiri (HPS).
"HPS adalah acuan bagi penyedia untuk menyusun dokumen rencana anggaran biaya, namun HPS ini tidak dibuat oleh PPK. Ini menunjukkan adanya dugaan korupsi sejak tahap perencanaan hingga akhir pekerjaan," ujarnya.
Ergat juga memaparkan bahwa konsultan pengawas SMEC International Pty diduga tidak mengevaluasi analisa harga satuan (AHS) dalam RAB kontrak pembangunan prasarana LRT dari penyedia. Akibat tidak adanya HPS dan AHS yang tidak dievaluasi, pihak penyedia (Waskita Karya) diduga dengan sengaja melakukan mark up pada seluruh kegiatan pembangunan LRT.
"Total mark up yang ditemukan mencapai lebih dari Rp1,2 triliun. Temuan mark up tersebut mencakup pengadaan girder sebesar lebih dari Rp69 miliar, pemasangan girder sebesar lebih dari Rp49 miliar, penyediaan material dan fabrikasi steel box girder sebesar lebih dari Rp130 miliar, serta penyediaan material dan pemasangan struktur baja pier head Lt 1 sebesar lebih dari Rp32 miliar.
"Kami akan mengungkap semua temuan ini dan telah melaporkannya ke Kejaksaan Agung agar segera ditindaklanjuti. Masih banyak mark up yang dilakukan Waskita Karya, termasuk pemasangan struktur baja balok Lt 1 dan peron sebesar lebih dari Rp94 miliar, pemasangan struktur baja di Sungai Musi sebesar lebih dari Rp102 miliar, pengadaan batang rel R54 sebesar lebih dari Rp46 miliar, dan pemasangan rel serta slab track sebesar lebih dari Rp63 miliar," tambah Ergat.
Dalam laporannya ke Kejagung, Ergat juga melengkapi temuan lainnya yang diduga merupakan tindak pidana korupsi. Temuan ini termasuk mark up pada pekerjaan transportasi vertikal stasiun dan JPO senilai lebih dari Rp16 miliar, pekerjaan pembesian lebih dari Rp4,6 miliar, pengadaan modular expansion joint senilai lebih dari Rp496 juta, pengadaan fastener senilai lebih dari Rp54 miliar, dan pekerjaan taman senilai lebih dari Rp4,1 miliar.
"Masih banyak temuan lainnya yang kami laporkan, seperti pekerjaan sewage treatment plant (STP) kapasitas 19 m3/hari senilai Rp1,4 miliar, plafon metak ceiling senilai lebih dari Rp8 miliar, cat anti konduktif sebesar lebih dari Rp1 miliar, tata udara stasiun sebesar lebih dari Rp1,4 miliar, MATV dan telepon sebesar lebih dari Rp1,1 miliar," tutur Ergat.
"Pengadaan generator set 180 KVA prime silent type sebesar lebih dari Rp3 miliar, peninggian SUTT 70 Kva dan SUTT 150 Kva sebesar lebih dari Rp3,3 miliar, pondasi bored pile jembatan Sungai Musi sebesar lebih dari Rp10,6 miliar, bekisting bondex sebesar Rp6,5 miliar, sambungan expansi rubber seal sebesar lebih dari Rp18,8 miliar, pengadaan material curve rail lubricant unit sebesar lebih dari Rp834 juta," tambahnya.
"Perbaikan jalan setelah masa konstruksi sebesar lebih dari Rp40 miliar, fasilitas operasi sebesar lebih dari Rp302 miliar, pemahalan nilai kontrak sebesar lebih dari Rp18 miliar akibat kesalahan aritmatik analisa harga satuan, dan pemahalan kontrak sebesar lebih dari Rp7,4 miliar karena harga satuan upah, bahan bangunan, dan gedung yang tidak sesuai dengan standar harga satuan tahun 2016 Pemkot Palembang (Bappeda). Seluruh temuan ini kami laporkan ke Kejagung," jelas Ergat.
Ergat berharap agar laporan ini segera ditindaklanjuti untuk proses penyelidikan dan penyidikan, sehingga kerugian negara sebesar lebih dari Rp1,2 triliun dapat dikembalikan dan pihak-pihak yang terlibat dapat segera diproses secara hukum.
Editor : Sazili MustofaEditor Jakarta
Artikel Terkait