PALEMBANG, iNewspalembang.id - Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Palembang menggelar aksi damai guna memperingati hari kebebasan pers sedunia, Rabu (3/5/2023) malam di simpang DPRD Sumsel Jalan Radial Kota Palembang.
Aksi ini digelar dengan menyorot soal impunitas penegakkan hukum dan kasus-kasus kekerasan/kriminalisasi terhadap jurnalis.
Aksi turut dihadiri puluhan peserta dari berbagai forum dan organisasi jurnalis lainnya serta Lembaga Pers Mahasiswa di kota Palembang.
Adapun rangkaian aksi dikemas dengan menyajikan hiburan akustik, pembacaan pernyataan sikap AJI Palembang, penampilan pantomim serta penyalaan lilin bersama oleh seluruh peserta sebagai simbol pengingat bagi masyarakat akan pentingnya perlindungan terhadap jurnalis.
Ketua AJI Palembang, Fajar Wiko mengatakan, seringkali terjadi kasus-kasus kekerasan terhadap jurnalis tanpa ada tindakan tegas dari aparat penegak hukum alias mandeg.
"Padahal kekerasan terhadap jurnalis bukan hanya melanggar hak asasi manusia, namun juga mengancam kebebasan pers dan stabilitas demokrasi," tegasnya.
Ketua Divisi Advokasi AJI Palembang, Shinta Dwi Anggraini mengatakan, semua pihak mulai dari pemerintah, aparat penegak hukum maupun masyarakat umum sudah seharusnya menghormati dan menjunjung tinggi kebebasan pers dalam bersuara.
"Jangan sampai ada lagi segala bentuk kekerasan terhadap jurnalis. Entah itu kekerasan fisik, verbal, ancaman, doxing dan intimidasi dalam bentuk lainnya yang dapat mengganggu tugas jurnalis dalam menyampaikan informasi yang sebenar-benarnya ke masyarakat," tegasnya.
Untuk diketahui, dari tingkat kekerasan, di tahun 2022 terjadi 61 kasus yang menyerang 97 orang jurnalis dan pekerja media serta 14 organisasi media.
Jumlah kasus ini meningkat dari tahun 2021 yang mencapai 43 kasus. Berbagai jenis serangan dapat mengancam nyawa jurnalis.
Adapun jenis serangan tersebut meliputi kekerasan digital (15 kasus), kekerasan fisik dan perusakan alat kerja (20 kasus), kekerasan verbal (10 kasus), kekerasan berbasis gender (3 kasus), penangkapan dan pelaporan pidana (5 kasus) serta penyensoran (8 kasus).
Tercatat pula, sebagian besar pelaku kekerasan yakni sebanyak 24 kasus melibatkan aktor negara seperti, polisi (15 kasus), aparat pemerintah (7 kasus) dan TNI (2 kasus).
Sedangkan aktor non-negara sebanyak 20 kasus yang melibatkan ormas (4 kasus), partai politik (1 kasus), perusahaan (6 kasus) dan warga (9 kasus). Sisanya, 17 kasus belum teridentifikasi pelakunya.
Editor : Andhiko Tungga Alam
Artikel Terkait