PALEMBANG, iNews.id - Ratusan buruh yang menamakan dirinya Gepbuk (Gerakan pekerja/buruh untuk keadilan) Sumatera Selatan, menggeruduk kantor Gubernur Sumsel, berdemonstrasi menolak upah murah baik upah minimum kota (UKM) dan upah minimum provinsi (UMP).
Kedatangan ribuan pendemo ke kantor Gubernur sekitar pukul 10.000 WIB pagi Selasa (30/11/2021). Gepbuk terdiri dari berbagai elemen mulai dari KSPSI Sumsel, KSBSI Sumsel, KASBI Sumsel, SB Sriwijaya Sumsel, FSP RTMM SPSI Sumsel, FSB Nikeuba dan FSB Kamiparho.
Salah satu koordinator lapangan, Anton menyampaikan beberapa poin yang dituntut pekerja/buruh, pertama memohon perlindungan hukum dan keadilan, kedua menolak upah murah, ketiga menuntut pelaksanaan putusan mahkamah konstitusi nomor 91/puu-xviii/2020 tanggal 25 November 2021.
Keempat menuntut revisi kenaikan UMP Sumsel tahun 2022 dan kenaikan UM Kabupaten/kota se Sumsel, berdasarkan putusan MK nomor 91/puu-xviii/2020, tanggal 25 November 2021 dengan kenaikan upah minium berdasarkan UU no 13 / 2003 tentang ketenagakerjaan.
Kelima menuntut dicabutnya UU no 11/2020 tentang cipta kerja dan seluruh peraturan pelaksananya yang telah dinyatakan inkonstitusional bersyarat. Keenam menuntut Gubernur dan atau Bupati/Walikota se Sumsel memberikan subsidi kepada pekerja/buruh formal maupun informal sebesar Rp300 ribu per bulan.
"Jika aspirasi tidak dipenuhi ataupun tidak ditindaklanjuti, kami akan kembali melakukan aksi unjuk rasa atau demonstrasi lanjutan, dengan massa yang lebih besar, guna memperjuangkan kesejahteraan seluruh buruh pekerja di Sumsel," kata Anton.
Sementara itu, Ketua Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) Sumsel Abdullah Anang menambahkan, UMP 2022 tidak naik karena pemerintah mengacu pada Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja dan turunannya Peraturan Pemerintah (PP) nomor 36 tahun 2021.
Sedangkan UMK dari seluruh wilayah, hanya Palembang yang naik sekitar Rp19.000. Ia mengatakan, Mahkamah Konstitusi (MK) telah memutuskan jika UU tersebut cacat secara hukum, sehingga aturan yang diputus menggunakan UU tersebut dianggap tidak sah secara konstitusional.
Dalam UU sebelumnya, proses kenaikan upah dinilai dari indikator kebutuhan hidup layak (KHL), sedangkan di UU baru pemerintah tak lagi memasukan unsur KHL untuk kenaikan upah.
Seperti diketahui sebelumnya, Pemprov Sumsel memutuskan UMP tidak mengalami kenaikan, karena mengacu pada UU Ciptaker. Pekerja/buruh berharap Pemprov menganulir putusan mengenai upah, karena akan berdampak kepada masyarakat.
Editor : Agustian Pratama