MEDAN, iNewspalembang.id - Dewan pers menyebut dari sebanyak 47 ribu media massa yang tersebar di seluruh Indonesia, terbanyak justru bukan dari Pulau Jawa.
Menurut Anggota Dewan Pers, Atmaji Sapto Anggoro menyampaikan, jumlah media sebanyak 47 ribu itu, sekitar 43 ribu merupakan media bold.
“Yang mengejutkan, ternyata jumlah media terbanyak itu bukan di Pula Jawa. Justru yang paling banyak ada di Riau. Jumlah media di Riau sekitar 12% dari total media secara nasional,” ujar dia, saat berbicara pada Jangkauan Konvensi Media Massa dengan tema Peluang di Tahun yang Menantang dalam rangka peringatan Hari Pers Nasional (HPN) 2023 di Medan, Rabu (8/2/2023).
Selain Riau, ungkap Sapto, data yang tercacat Dewan Pers Kepulauan Riau berada di posisi kedua dengan 11 persen.
“Berikutnya diikuti DKI Jakarta yang jumlahnya juga sekitar 11 persen. Lalu Jawa Timur sekitar 7 persen dan Sumsel sekitar 6 persen,” ungkap dia.
Terlepas dari itu, jelas Sapto, Dewan Pers mengingatkan seluruh media untuk tidak melupakan misi utama mereka. Terlebih, saat ini masih kurang media yang kembali pada idealisme semula, bila dari sisi finansial sudah relatif belum terpenuhi.
“Jika kebutuhan dari sisi ekonomi sudah mencukupi, media perlu kembali pada visi dan misi yang diembannya. Media itu merupakan pilar keempat demokrasi,” jelas dia.
Sapto menerangkan, bahwa media di era digital ini disarankan untuk tidak menyerahkan seluruh aplikasi atau kontennya kepada pihak lain. Sebaliknya, semua fasilitas dan aplikasi digital itu harus dikuasai oleh media.
“Jika sebuah media sudah menyerahkan aplikasi dan kontennya kepada pihak lain, maka itu sama artinya menyerahkan sebagian hidupnya untuk dikelola ke pihak lain. Apalagi jika diserahkan kepada pihak lain yang notabene merupakan perusahaan asing,” ungkap dia.
“Pasal 1 Ayat 6 UU Nomor 40 Tahun 1999 Tentang Pers menyatakan bahwa Pers Nasional adalah Pers yang diselenggarakan oleh Perusahaan Pers Indonesia,” imbuh pendiri Tirto.id itu.
Sapto menyarankan, justru sebaiknya media digital bisa membangun ekosistem sendiri. Karena dengan membangun komunitas atau ekosistem, hal itu memungkinkan sebuah media untuk bisa mendapatkan pembatasan.
“Di samping itu, bukan tidak mungkin ekosistem itu justru menarik minat pihak lain untuk bergabung,” tandas dia.
Editor : Sidratul Muntaha
Artikel Terkait