Dilema Bias Gender di Ruang Redaksi, FJPI Sebut Butuh Dukungan Terapkan Jurnalisme Inklusif

PALEMBANG, iNewspalembang.id - Forum Jurnalis Perempuan Indonesia (FJPI) menilai, bias gender di ruang redaksi kerap memengaruhi peluang kerja, penugasan liputan, hingga penentuan ide atau angle berita.
hal itu disampaikan Sekretaris Jenderal FJPI Pusat, Tri Rizki Ambarwatie bersama Kepala Program Studi Jurnalistik Universitas Islam Negeri (UIN) Raden Fatah Palembang, Jufrizal, saat menjadi pembicara diskusi publik ‘Urgensi Penguatan Jurnalisme Inklusif untuk Kebebasan Berekspresi bagi Jurnalis Perempuan’, di Rumah Dinas Wali Kota Palembang, Selasa (12/8/2025).
Dalam banyak kasus, sambung Tri, isu perempuan dan keberagaman tidak mendapat porsi yang setara atau diberitakan tanpa perspektif yang tepat.
“Sehingga menimbulkan banyak perspektif seperti bias gender. Masih banyak perempuan yang belum bebas dalam kerja jurnalistik, bahkan mengalami diskriminasi di ruang redaksi,” ujar dia.
Tri mengatakan, tak hanya dalam ruang redaksi, jurnalis perempuan juga kerap dihadapkan dengan ganguan-gangguan lain saat menyampaikan pemberitaan ke masyarakat luas.
"Seperti kasus pengiriman kepala babi kepada jurnalis perempuan Tempo, dan kasus lain yang pernah diadvokasi FJPI,” kata dia.
Kondisi ini, dinilai Tri, bahwa penerapan jurnalisme inklusif memberi kesempatan yang sama, suara setara, dan perlindungan memadai bagi jurnalis perempuan, baik dari kekerasan daring maupun luring. Baik di ruang redaksi maupun luar redaksi.
“Perspektif gender perlu dipahami jurnalis dan dipraktikkan di ruang redaksi, agar pemberitaan tidak bias dan semua suara mendapat tempat yang adil,” ungkap dia.
"Juga menjadi tantangan tersendiri bagi jurnalis perempuan yang menjadi korban kekerasan saat menyampaikan sebuah berita. Sehingga memang butuh peran berbagai pihak untuk mendukung jurnalisme inklusif," imbuh dia.
Sementara, Jufrizal menerangkan, jurnalisme inklusif merupakan praktik jurnalistik yang tidak memandang suku, ras, agama, maupun gender dalam proses kerja pemberitaan.
Pada dunia media, sambung dia, penerapan jurnalisme inklusif masih minim dan sering terhambat oleh pola pikir atau kebijakan redaksi yang belum berubah.
“Jurnalisme inklusif menghasilkan karya yang dapat diterima semua kalangan, karena tidak membatasi pada unsur-unsur tertentu,” terang dia.
Sebagai akademisi yang berkecimpung di dunia jurnalistik, jelas Jufrizal, masih banyak berita yang bias gender, menyinggung isu agama, atau menggunakan judul provokatif.
Bahkan, beberapa upaya jurnalis untuk menulis secara inklusif kerap terhenti di meja redaksi dan belum didukung kebijakan redaksi," jelas dia.
Jufrizal melanjtukan, dengan adanya penerapan jurnalisme inklusi yang dimulai dari ruang-ruang redaksi, tentu bisa meminimalisir kasus-kasus berita bias gender dan memberi ruang bagi jurnalis untuk bebas berekspresi untuk menuliskan pemberitaannya.
Editor : Sidratul Muntaha