JAKARTA, iNewspalembang.id – Sudah begitu banyak ilmu pengetahuan terkait bagaimana cara mengatasi menstruasi bagi perempuan. Karena siklus bulanan ini merupakan bagian dari proses organ reproduksi wanita untuk mempersiapkan kehamilan.
Hanya saja, data dari World Bank, ada sekitar 500 juta perempuan di seluruh dunia yang mengalami ‘kemiskinan’ menstruasi, atau kesulitan memperoleh produk kebutuhan menstruasi yang aman dan higienis serta akses pengetahuan mengenai menstruasi.
Menurut Spesialis Obstetri dan Ginekologi, dr. Dyana Safitri Velies, remaja hingga orang dewasa yang sudah memiliki anak masih banyak yang belum paham dengan menstruasi.
Dyana mengatakan, menstruasi adalah meluruhnya darah dan jaringan dari dalam dinding rahim akibat perubahan hormon. Darah yang keluar merupakan darah kotor yang disertai dengan jaringan.
"Darah menstruasi ini keluar dalam bentuk menggumpal. Sebelumnya darah ini berada di dinding rahim dan keluar pada waktunya. Warna dan bentuk dari darahnya juga berbeda dibandingkan darah yang keluar dari kulit," kata dr Dyana melalui keterangan virtualnya belum lama ini.
Dyna mengungkapkan, normalnya menstruasi keluar selama 5-7 hari. Kurang atau lebih dari jangka waktu itu boleh konsultasi ke dokter. Menstruasi juga ada masa pra-ovulasi dan fase ovulasi.
"Dari fase ovulasi sampai fase pra ovulasi terjadi pematangan sel telur yang ada di indung telur," ungkap dia.
Sementara, Devy Yheanne, Country Leader of Communications and Public Affairs, PT Johnson & Johnson Indonesia melanjutkan, ada banyak stigmatisasi mengenai menstruasi yang disebabkan karena faktor ekonomi.
"Dampaknya, hanya 63 persen remaja perempuan di Indonesia yang memiliki pengetahuan memadai saat menghadapi menstruasi pertama (menarke), serta 44 persen merasa takut, terkejut, dan tertekan ketika hal itu terjadi. Bahkan, satu dari lima remaja perempuan tidak memahami menstruasi secara biologis," ujar dia.
Melalui inisiatif pendidikan WiSTEM2D (Women in Science, Technology, Engineering, Math, Manufacturing, and Design), Devy berharap, dapat meningkatkan akses perempuan terhadap informasi kesehatan menstruasi berbasis sains secara nyaman dan terbuka.
"Diharapkan, edukasi yang diperoleh para remaja perempuan dalam kegiatan ini memberikan kepercayaan diri, sumber daya, dan peluang untuk mencapai keterjangkauan fasilitas kesehatan menstruasi yang higienis serta kesetaraan kualitas kesehatan secara menyeluruh," jelas dia.
Devy menambahkan, selain kesehatan, masalah kemiskinan menstruasi juga membawa dampak negatif pada pendidikan. Berdasarkan hasil riset Burnet Institute, sebanyak 41 persen remaja perempuan memilih untuk merahasiakan bila sedang menstruasi guna menghindari rasa malu dan takut terhadap orang lain di sekolah, terutama remaja laki-laki.
"Bahkan, hal ini menjadi salah satu alasan yang menyebabkan 1 dari 6 remaja perempuan terpaksa tidak masuk sekolah selama satu hari atau lebih pada saat mereka sedang menstruasi," kata dia.
Terpisah, Dewan Nasional Prestasi Junior Indonesia, Natalia Soebagjo menuturkan, pihaknya percaya akan potensi tanpa batas yang dimiliki oleh generasi muda.
Hanya saja, data tersebut mengindikasikan kemiskinan menstruasi turut menimbulkan kesenjangan akses remaja perempuan terhadap pendidikan dan kesempatan untuk meraih potensi terbaik mereka.
"Kami sangat antusias untuk terus bekerja bersama menggalakkan edukasi kebersihan menstruasi bagi generasi muda Indonesia. Kami berharap upaya kolaboratif ini menginspirasi orang tua, guru, dan komponen masyarakat lain untuk ikut berperan dalam membuka ruang diskusi yang dapat meluruskan stigma mengenai menstruasi di masyarakat," tandas dia.
Editor : Sidratul Muntaha