PALEMBANG, iNewspalembang.id – Peran media di Sumsel sebagai provinsi penghasil batubara perlu dipastikan agar mampu memahami dinamika transisi energi di Indonesia, khususnya dalam hal regulasi sebagai pedoman menuju transisi energi.
Hal tersebut diutarakan Koordinator Riset Sosial, Kebijakan dan Ekonomi Institute for Essential Service Reform (IESR), Martha Jessica Mendrofa, dalam Lokakarya Media tentang Perkembangan Kebijakan dan Regulasi dalam Transisi Energi, di Fave Hotel Palembang, Selasa (20/10/2024).
Jessica melanjutkan, hal tersebut guna memberikan informasi akurat untuk memfasilitasi publik secara inklusif. Pihaknya juga melihat media harus punya peran penting dan harus diperhatikan bagaimana bisa menyalurkan informasi dari pusat, dari daerah untuk masyarakat.
“Jadi, diskusi hari ini kita ingin tahu apa yang menurut media penting dan apa yang menurut kita penting supaya nanti kedepan kita sama - sama hasilnya sesuai dengan isi - isu yang ada di level lokal,” ujar dia usai kegiatan.
Jessica mengatakan, bahwa untuk pendanaan soal transisi energi itu ternyata sangatlah besar dan bantuan dari berbagai sumber. Karena, anggaran publik baik nasional maupun daerah tidak bisa menghasilkan dana yang sekian banyak itu.
“Dari mana dananya? Nah itu yang perlu kita cari tahu dan yang secara nasional diinginkan atau yang potensial bantuan dari negara-negara maju, karena mereka sudah selesai dengan pertumbuhan ekonomi mereka. Emisi mereka sudah rendah, sedangkan kita masih ingin bertumbuh dan terkadang pertumbuhan ekonomi itu selaras dengan pertumbuhan emisi juga,” kata dia.
Sebagai negara yang masih berkembang, ungkap Jessica, tentu Indonesia sangat berharap banyak pendanaan dari bilateral, multilateral, dari perbankan internasional dan domestic, untuk bisa sama-sama melakukan program-program yang tidak hanya pokus pada program informasi dan sosialiasi seperti ini tetapi juga program pembangunan secara fisik ke EBT itu.
"Jadi pendanaan, need dan source (kebutuhan dan sumber) harus disesuaikan,” ungkap dia.
Jessica menjelaskan, sebagai salah satu penghasil batubara, Sumsel ternyata lebih kompleks masalah transisi energi dari wilayah lainnya. Karena banyak masalah yang terjadi dengan adanya sumber batu bara yang ada disini masih di produksi.
“Berbicara transisi energi di Sumsel itu kita tidak bisa hanya fokus kedepan. Tapi harus fokus menyelesaikan masalah yang ada sekarang dimulai dari menyelesaikan masalah pasung pada posos, kesehatan, dan masalah legalisasi dan kualitas lingkungan yang sudah terkhianati dari adanya pertambangan yang ada sekarang,” jelas dia.
Sementara, Kepala Bidang (Kabid) Energi pada Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Sumsel, Aryansyah menerangkan, pelaksanaan transisi energi memerlukan sosialisasi hingga ke tingkatan masyarakat paling bawah, seperti ibu rumah tangga (IRT).
Karena, pada dasarnya Provinsi Sumsel mampu dan memiliki potensi untuk melakukan transisi energi. Dengan cadangan 82,24 persen bio energi yang menjadi potensi energi baru dan terbarukan (EBT) terbesar di Sumsel.
Bioenergi sendiri, sambung dia, adalah energi terbarukan yang diperoleh dari sumber biologis, umumnya biomassa. Biomassa adalah bahan organik yang menyimpan energi cahaya matahari dalam bentuk energi kimia.
“Biomassa sebagai bahan bakar umumnya berupa kayu, limbah industri kayu, jerami, dan hasil pertanian seperti tebu yang dapat diolah menjadi bahan bakar. Sosialisasi hingga ke ibu rumah tangga, agar mereka memahami bahwa kita akan tidak lagi tergantung pada minyak tanah atau solar misalnya,” jelas dia.
Melalui sosialisasi hingga ke IRT itu kata Aryansyah, informasi-informasi terkait transisi energi menjadi titik utama untuk disampaikan ke masyarakat, dan itu menjadi target dari Pemprov Sumsel, selain dengan mempersiapkan berbagai macam pemetaan di masing-masing kabupaten/kota di Sumsel.
"Karena tiap-tiap daerah itu mempunyai potensi (energi) yang berbeda," kata dia.
Karena itu, ungkap Aryansyah, infrastruktur terkait transisi energi ini perlu segera diselesaikan, termasuk salah satunya memanfaatkan EBT ini pada mekanisme carbon trading atau perdagangan karbon yaitu aktivitas jual beli kredit karbon yang bertujuan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) di bumi.
"Hitung-hitungan seperti ini yang juga sedang dirumuskan agar nanti dapat memberikan efek (positif) bagi Pemprov Sumsel,” tandas dia.
Editor : Sidratul Muntaha
Artikel Terkait